Desir.id – Medan | Tren adaptasi live-action yang dulunya identik dengan Disney kini mulai merambah ke studio animasi lain. DreamWorks menjadi salah satu yang ikut masuk ke arus ini dengan merilis versi live-action dari salah satu karya animasi paling ikonik mereka, How to Train Your Dragon. Keputusan ini menarik perhatian karena bukan hanya menghidupkan kembali dunia naga dan Viking yang sangat dicintai, tapi juga menandai langkah baru dalam eksplorasi cerita klasik dengan pendekatan visual yang lebih realistis.
Versi live-action ini mengambil pendekatan yang sangat berhati-hati. Sebagian besar adegan direka ulang secara nyaris satu per satu dari versi animasinya, tanpa banyak perombakan atau penyegaran besar. Hasilnya adalah film yang tetap menghibur dan mudah dinikmati, terutama bagi penonton yang sudah akrab dengan versi orisinal, namun juga terasa terlalu aman dan tidak cukup berani mengambil risiko untuk menawarkan sesuatu yang benar-benar baru.

Film ini mengikuti kisah Hiccup (Mason Thames), seorang remaja canggung yang tinggal di pulau Berk, sebuah desa Viking yang dikenal karena konflik panjang mereka dengan para naga. Berbeda dari kebanyakan orang di desanya, Hiccup justru memiliki pendekatan yang lebih lembut dan penuh rasa ingin tahu terhadap makhluk-makhluk itu. Titik balik terjadi saat ia berhasil menjatuhkan seekor Night Fury, naga paling ditakuti, yang kemudian ia beri nama Toothless. Alih-alih membunuhnya, Hiccup malah menjalin ikatan emosional yang kuat dengan Toothless. Persahabatan ini perlahan mengguncang cara pandang masyarakatnya terhadap naga dan memaksanya mengambil keputusan-keputusan sulit tentang siapa dirinya dan apa yang ia yakini.
Salah satu hal yang paling mencolok dalam versi ini adalah karakter Hiccup. Sayangnya, karakteristik khasnya sebagai sosok underdog yang kikuk namun penuh semangat dan rasa ingin tahu tidak benar-benar muncul. Mason Thames tampil terlalu tenang dan percaya diri, sehingga kehilangan sisi rapuh dan ragu-ragu yang justru menjadi kekuatan karakter Hiccup di versi animasi. Ini bukan karena aktingnya buruk, melainkan karena casting-nya terasa kurang tepat untuk peran ini.
Berbeda halnya dengan karakter-karakter lain yang tampil lebih meyakinkan. Teman-teman Hiccup di akademi pelatihan naga hadir dengan energi yang serupa dengan versi animasi. Astrid (Nico Parker) menjadi salah satu sorotan utama. Ia tidak hanya mirip secara penampilan dan sikap, tetapi juga mendapatkan pengembangan karakter yang lebih terasa. Fokus tambahan pada dirinya memberi kedalaman yang sebelumnya belum terlalu tergali, dan ia tetap tampil sebagai sosok yang tangguh meski bukan anak pemimpin desa seperti Hiccup.
Sementara itu, keempat teman Hiccup lainnya juga tampil solid. Snotlout (Gabriel Howell) hadir dengan gaya percaya dirinya yang khas dan sedikit arogan, sementara Fishlegs (Julian Dennison) tetap menjadi sosok yang canggung namun penuh informasi soal naga. Kembar bersaudara Ruffnut (Bronwyn James) dan Tuffnut (Henry Trevaldwyn) membawa dinamika komedi yang cukup menyegarkan, meskipun porsinya tidak terlalu besar. Kelima karakter ini secara keseluruhan berhasil menangkap semangat orisinalnya dan memberikan warna tersendiri di tengah cerita.
Kehadiran Stoick (Gerard Butler) juga memberikan sentuhan menarik karena Butler kembali dari versi animasi sebagai pengisi suara karakter tersebut. Penampilannya membawa rasa akrab yang kuat dan berhasil memberikan bobot emosional pada sosok ayah yang keras kepala namun penuh cinta. Sementara itu, Gobber (Nick Frost) tampil penuh semangat dan karismatik, memperkaya dinamika antar karakter dengan kehadiran yang khas dan penuh energi. Humornya pun konsisten dengan versi animasi, membuat kehadirannya terasa familiar dan menyenangkan.
Secara cerita, film ini tetap setia pada struktur versi animasinya. Beberapa adegan direka ulang dengan ketelitian tinggi, namun hasilnya terkadang terasa lebih mekanis daripada menyentuh. Hubungan Hiccup dan Toothless yang seharusnya menjadi jantung emosional film tidak mendapat ruang tumbuh yang cukup. Interaksi mereka terkesan tergesa, dan momen krusial ketika Hiccup pertama kali memilih untuk tidak membunuh Toothless sama sekali tidak terasa impactful. Tanpa pembangunan yang memadai, hubungan mereka kehilangan keintiman emosional yang pernah menjadi kekuatan utama versi animasi.
Sebaliknya, hubungan Hiccup dan sang ayah, Stoick, justru menjadi elemen yang mampu berdiri setara dengan versi sebelumnya. Ketegangan antara keduanya dibangun dengan cukup matang, memperlihatkan benturan nilai antara keberanian tradisional Stoick dan pendekatan empatik Hiccup yang lebih modern. Proses Hiccup membuktikan dirinya sebagai pribadi yang berbeda, namun tidak kalah bernilai, mendapat payoff yang solid di paruh ketiga film, terutama saat Stoick mulai memahami dan menerima jati diri anaknya. Ini menjadi salah satu momen emosional paling berhasil dalam versi live-action ini.
Jika berbicara soal presentasi visual, film ini menunjukkan kualitas yang patut diapresiasi. CGI yang digunakan untuk membawa para naga ke layar live-action tampil memukau, dengan desain yang tetap mempertahankan ciri khas animasinya namun terasa lebih nyata. Salah satu sekuens paling berkesan adalah reka ulang adegan test drive saat Hiccup dan Toothless terbang bersama. Kecepatan dan sensasi terbang yang ditampilkan sangat mengagumkan, bahkan mengingatkan penulis pada kualitas sekuens first flight di film Man of Steel (2013). Selain itu, desain naga raksasa Red Death tampil sangat mengesankan dengan detail yang kaya dan aura yang menakutkan. Meskipun adegan pertempuran melawan Red Death di paruh ketiga film terasa agak terlalu gelap, kualitas CGI secara keseluruhan tetap konsisten dan memuaskan. Adegan aksi juga dikemas dengan baik, energik, dan menyenangkan untuk diikuti. Musik dari John Powell yang kembali hadir pun memperkuat nuansa epik dan emosional film ini, tetap seindah dan sekuat saat pertama kali digunakan.
Produksi film ini juga tidak main-main. Desain dunia Berk tampil detail dan hidup, dari arsitektur khas Viking hingga lanskap berbatu yang terasa otentik. Nuansa tempat tinggal yang keras namun hangat berhasil ditampilkan dengan baik, membuat penonton benar-benar merasa sedang menjelajahi dunia yang sudah akrab namun kini hadir dalam wujud baru. Kostum para karakter juga dirancang dengan cermat, menampilkan detail-detail yang menegaskan latar budaya Viking, sekaligus tetap setia pada siluet dan ciri visual karakter-karakter di versi animasi.
Secara keseluruhan, How to Train Your Dragon versi live-action adalah adaptasi yang rapi dan penuh penghormatan terhadap materi aslinya. Meski tidak semua bagiannya berhasil menyamai kekuatan emosional versi animasi, film ini tetap menawarkan visual yang memanjakan mata dan beberapa penampilan karakter yang kuat. Ini adalah langkah awal yang aman bagi DreamWorks untuk memasuki wilayah live-action, dan bagi sebagian penonton, mungkin itu sudah cukup untuk memuaskan rasa rindu terhadap kisah ini. Film ini juga menjadi alternatif menarik bagi yang ingin merasakan kembali cerita How to Train Your Dragon dengan nuansa baru yang lebih realistis.
RATE: ⭐⭐⭐½
Penulis: Arya Yudhistira