Menu

Mode Gelap
Ciptakan Ruang Aman untuk Bercerita: “Let it Out Project” Bersama Psikolog  Promax Project Gelar Protein Campaign di Car Free Day Medan untuk Tingkatkan Kesadaran Protein Harian Masyarakat Pengurus Resmi Dikukuhkan di Solo, Ketua Umum PWI Pusat : Persatuan Adalah Kunci SEHACI Project Gelar Kampanye “Kids Grow Strong and Nation Grows Bright” di Kampung Nelayan Belawan, Dorong Kesehatan Anak Pesisir Sadar Waktu Gandeng Komunitas Seabolga dan Medan Book Party di Main Event ‘Sejenak Tanpa Layar’ Doa Yatim Iringi Tasyakuran: PWI Resmi Kembali ke Rumah Lama di Lantai 4 Dewan Pers

Seni

Review The Holdovers (2023)

badge-check


					Review The Holdovers (2023) Perbesar

Desir.id – Medan | Drama komedi ini menyajikan kisah tentang kesepian dan koneksi dengan cara yang hangat, menggelitik, dan penuh nuansa. Dengan produksi yang detail, penyutradaraan yang cermat, serta akting luar biasa dari para pemainnya, film ini berhasil meraih berbagai penghargaan, termasuk Oscar 2024. Namun, meski sudah dua tahun sejak perilisannya, film ini masih luput dari perhatian banyak penonton dan tergolong underrated. Sebuah karya yang seharusnya tidak dilewatkan begitu saja.

Salah satu keunggulan utama film ini terletak pada production design yang sangat komprehensif dan mendetail. Bahkan sebelum film dimulai, kita sudah disuguhkan logo produksi Universal Pictures, Focus Features, dan Miramax yang telah disesuaikan secara visual agar tampak seperti film vintage dari era 70-an. Konsistensi ini terus dipertahankan saat intro film bergulir, di mana kita diajak melihat Barton Academy, sebuah sekolah asrama yang tengah menyambut musim liburan dengan suasana Natal yang berselimut salju. Intro ini berhasil menciptakan kehangatan yang mengundang sekaligus membangun imersivitas yang efektif, memperkuat nuansa era 70-an dalam visualnya.

Film ini mengisahkan Paul Hunham (Paul Giamatti), salah satu guru Baron Academy yang dikenal kaku dan tidak disukai banyak orang. Saat libur musim dingin selama dua minggu, ia terpaksa tetap tinggal di sekolah untuk mengawasi siswa yang tidak bisa pulang. Dalam kesendiriannya, Paul ditemani Mary (Da’Vine Joy Randolph), manajer kantin yang masih berduka setelah kehilangan putra tunggalnya dalam Perang Vietnam. Selain itu, ada Angus (Dominic Sessa), seorang siswa cerdas namun bermasalah yang harus menetap di asrama karena ibunya lebih memilih menghabiskan waktu dengan ayah tirinya. Selama dua minggu tersebut, interaksi mereka perlahan-lahan membawa perubahan yang tidak mereka duga.

Dari segi premis dan karakter, film ini memiliki fondasi yang kuat untuk menyajikan kisah sederhana yang penuh makna. Hal ini diperkuat oleh naskah yang ditulis David Hemingson, yang berhasil mengembangkan potensi cerita dengan baik. Penyutradaraan Alexander Payne yang sederhana namun personal semakin menyempurnakan pengalaman menonton, menciptakan kombinasi yang tepat untuk memberi ruang pada karakter-karakter utama agar berkembang secara alami.

Keberhasilan film ini juga ditopang oleh performa akting para aktornya, terutama Paul Giamatti dan Dominic Sessa (yang ternyata baru memulai debutnya di film ini). Chemistry antara keduanya begitu serasi dan berkembang secara organik di sepanjang film, dari hubungan yang awalnya penuh perseteruan hingga akhirnya menyadari bahwa mereka sama-sama kesepian dan butuh perhatian. Da’Vine Joy Randolph juga tampil luar biasa sebagai Mary, meskipun karakter ini kurang mendapatkan eksplorasi mendalam. Kendati demikian, perannya sebagai seorang ibu yang berduka tetapi harus tetap menjalankan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab membuktikan bahwa penghargaan Best Supporting Actress di Oscar 2024 sangat layak ia terima—sebuah pencapaian yang turut mengukuhkan kualitas film ini di mata para kritikus.

Salah satu aspek terbaik dari film ini adalah bagaimana ia menyoroti tema kesepian dan kebutuhan manusia akan koneksi, yang terkadang muncul di saat yang tidak terduga. Film ini berhasil menyampaikan bahwa kebahagiaan bisa datang ketika seseorang berani membuka diri terhadap orang lain. Selain itu, sebagai drama komedi, film ini memiliki cara yang sangat alami dalam menyampaikan humor tanpa mengganggu momen-momen emosional yang telah terbangun sejak awal. Komedi yang hadir terasa organik, muncul dari dialog menggelitik yang mengalir dan berkontribusi terhadap perkembangan karakter, sehingga tidak ada satu pun adegan yang terasa dipaksakan.

Satu kritik yang mungkin bisa diberikan adalah kurangnya fokus pada karakter Mary. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, meskipun Da’Vine Joy Randolph memberikan performa yang luar biasa, karakter Mary sebenarnya memiliki potensi pengembangan lebih lanjut jika diberikan durasi yang lebih panjang. Dengan eksplorasi lebih dalam, karakternya bisa semakin berdampak bagi keseluruhan cerita.

Secara keseluruhan, film ini adalah bukti bahwa filmmaker modern masih mampu menciptakan drama komedi yang menghangatkan hati, mirip dengan film-film era 70-an. Sayangnya, pemahaman industri, tujuan kreatif, dan permintaan pasar kerap menjadi faktor yang membuat film-film dengan gaya serupa sulit menjangkau audiens yang lebih luas. Meskipun begitu, keberhasilan film ini menunjukkan bahwa cerita yang dikemas dengan baik tetap bisa meninggalkan kesan mendalam bagi penontonnya.

Rate: ⭐⭐⭐⭐½

Penulis : Arya Yudhistira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Review Weapons (2025)

9 Agustus 2025 - 18:59 WIB

Review How to Train Your Dragon (2025)

16 Juni 2025 - 11:36 WIB

Review Lilo & Stitch (2025)

14 Juni 2025 - 19:58 WIB

Review Final Destination Bloodlines (2025)

11 Mei 2025 - 21:10 WIB

Review Thunderbolts* (2025)

10 Mei 2025 - 20:51 WIB

Trending di Entertainment