Menu

Mode Gelap
Ciptakan Ruang Aman untuk Bercerita: “Let it Out Project” Bersama Psikolog  Promax Project Gelar Protein Campaign di Car Free Day Medan untuk Tingkatkan Kesadaran Protein Harian Masyarakat Pengurus Resmi Dikukuhkan di Solo, Ketua Umum PWI Pusat : Persatuan Adalah Kunci SEHACI Project Gelar Kampanye “Kids Grow Strong and Nation Grows Bright” di Kampung Nelayan Belawan, Dorong Kesehatan Anak Pesisir Sadar Waktu Gandeng Komunitas Seabolga dan Medan Book Party di Main Event ‘Sejenak Tanpa Layar’ Doa Yatim Iringi Tasyakuran: PWI Resmi Kembali ke Rumah Lama di Lantai 4 Dewan Pers

Entertainment

Review Lilo & Stitch (2025)

badge-check


					Review Lilo & Stitch (2025) Perbesar

Desir.id – Medan | Sejatinya sebuah film adaptasi live-action harus mampu menghadirkan sudut pandang baru yang segar dan bermakna, bukan sekadar meniru atau bahkan berambisi menggantikan versi animasinya yang telah lebih dulu dicintai. Dalam konteks itu, adaptasi live-action Lilo & Stitch sebenarnya justru menawarkan sesuatu yang mengejutkan: sebuah pendekatan yang lebih realistis dan menyentuh, terutama dalam menyoroti tema utama tentang keluarga (‘ohana’), yang kali ini digarap dengan kedalaman emosional yang berbeda dari versi aslinya.

Stitch tetap terasa menggemaskan dan nakal seperti sebelumnya, dengan pengembangan karakter yang terasa lebih natural dan terintegrasi dalam alur cerita. Kembalinya Chris Sanders sebagai pengisi suara Stitch juga memberikan nuansa familiar yang hangat, membuktikan bahwa meski tampil dalam bentuk live-action, esensi dari karakter ini tetap terjaga dengan baik.

Lilo (Maia Kealoha) mungkin membawa nuansa yang sedikit berbeda dari Lilo versi animasi, tetapi karismanya tetap kuat. Ia tampil menggemaskan dan membangun ikatan yang tulus serta menyentuh dengan Stitch. Namun, yang membuat hubungan ini semakin spesial adalah bagaimana Stitch tidak hanya berperan penting dalam kehidupan Lilo, tetapi juga Nani (Sydney Agudong). Awalnya, Nani yang kesal dan canggung menghadapi kehadiran Stitch, secara perlahan mulai menumbuhkan rasa kepedulian yang mendalam. Perjalanan emosional ini mencapai puncaknya dalam sebuah momen hangat di paruh ketiga film yang benar-benar menguatkan ikatan antara mereka, menegaskan bahwa keluarga bukan hanya soal darah, tetapi juga tentang ikatan batin yang tumbuh melalui pengalaman bersama.

Di luar ketiganya, karakter Nani juga tampil lebih kompleks dan manusiawi, dengan motivasi yang sangat relevan di dunia nyata saat ini. Keputusan Nani untuk melanjutkan kuliah merefleksikan dilema banyak orang muda di seluruh dunia yang memilih menunda atau mengatur ulang prioritas demi membangun karier dan masa depan agar kelak dapat lebih baik dalam mengurus orang-orang yang mereka cintai. Dalam film ini, keputusan Nani tidak hanya sekadar soal memilih untuk mengejar pendidikan, tapi juga memilih untuk sementara meninggalkan Lilo demi masa depan yang lebih baik. Namun, hal itu tidak berarti ia mengabaikan Lilo, melainkan menitipkan adiknya kepada orang-orang yang dianggap keluarga yang dapat menjaga dan merawat Lilo dengan penuh kasih sayang. Pilihan ini menegaskan betapa pentingnya dukungan komunitas dan keluarga yang diperluas dalam menghadapi tantangan hidup. Menariknya, keputusan ini mendapat banyak kritik mengherankan dari penonton, padahal sebenarnya merupakan perubahan yang sangat bagus dan relevan dengan realita banyak keluarga masa kini. Film ini dengan sensitif mengangkat isu tersebut, memperluas makna ‘ohana’ yang kini tidak hanya sebatas keluarga inti, tapi juga komunitas yang saling mendukung. Hal ini juga tergambar melalui karakter Tutu (Amy Hill) dan David (Kaipo Dudoit), tetangga yang peduli dan hangat, yang memperkuat pesan bahwa keluarga bisa hadir dalam berbagai bentuk dan hubungan sosial.

Chemistry antara karakter utama terjalin hangat dan menghasilkan penyelesaian emosional yang memuaskan. Selain itu, absennya Gantu memberi ruang bagi Jumba (Zach Galifianakis) untuk lebih menonjol sebagai tokoh antagonis eksentrik dan narsistik, sementara Jumba dan Pleakley (Billy Magnussen) lebih banyak tampil sebagai manusia dalam penyamaran. Pleakley menjadi salah satu kejutan menyenangkan lewat penampilan Billy Magnussen yang sangat solid, dengan ketertarikan lucunya terhadap budaya Bumi yang menghidupkan karakter ini. Sayangnya, Jumba kehilangan aksen khasnya dari versi animasi yang dulu sangat memorable.

Sementara itu, perubahan yang paling disayangkan justru datang dari karakter Cobra Bubbles (Courtney B. Vance). Dalam versi animasi, ia adalah sosok yang sangar di luar tapi berhati lembut dan peduli, dualitas yang membuat karakternya unik dan berkesan. Namun versi live-action menyajikan Cobra sebagai mantan agen FBI yang datar dan generik, kehilangan kehangatan dan keunikan tersebut.

Meskipun visual film ini belum sepenuhnya mampu menangkap keindahan atmosfer Hawaii sebagaimana versi animasi, film ini sarat dengan humor, kehangatan, dan segar dalam beberapa aspek. Beberapa sekuens CGI memang kurang rapi, namun hal tersebut masih terasa lebih baik jika dibandingkan dengan CGI di beberapa rilisan adaptasi live-action Disney akhir-akhir ini. Oleh karena itu, respon negatif berlebihan terhadap film ini terasa kurang adil mengingat banyak hal positif yang disajikan.

RATE: ⭐⭐⭐⭐

Penulis: Arya Yudhistira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Review Weapons (2025)

9 Agustus 2025 - 18:59 WIB

Misi Reboot yang Berhasil: Superman dan Fantastic Four Versi Terbaik di Era Baru

31 Juli 2025 - 01:27 WIB

Review How to Train Your Dragon (2025)

16 Juni 2025 - 11:36 WIB

Review Final Destination Bloodlines (2025)

11 Mei 2025 - 21:10 WIB

Review Thunderbolts* (2025)

10 Mei 2025 - 20:51 WIB

Trending di Entertainment