Menu

Mode Gelap
Tren Work From Café: Lebih dari Sekadar Nongkrong AI vs Joki Skripsi: Jalan Pintas Mahasiswa Menyelesaikan Tugas Akhir Massa Desak Kapolda Sumut Copot Kapolres Labuhan Batu akibat Maraknya Peredaran Sabu Warga Brohol Desak PT EMHA Buka Lahan TPU, Bupati Batubara Janji Turun Tangan Menteri PKP–PWI Fasilitasi 5.000 Rumah Wartawan SMSI Kecam Aksi Kekerasan di SPBU: Wartawan Tidak Boleh Diintimidasi

News

AI vs Joki Skripsi: Jalan Pintas Mahasiswa Menyelesaikan Tugas Akhir

badge-check


					AI vs Joki Skripsi: Jalan Pintas Mahasiswa Menyelesaikan Tugas Akhir Perbesar

Desir.id – Medan | “Lebih baik pakai AI daripada joki.” Begitulah tanggapan yang paling sering muncul dari 204 responden survei Instagram BOPM Wacana, pertengahan September lalu. Dari jumlah itu, 85,7 persen memilih menggunakan Artificial Intelligence (AI) dan 14,3 persen memilih setuju pada penggunaan joki untuk skripsi. 

Mayoritas responden menilai penggunaan AI masih ditoleransi karena mahasiswa tetap terlibat dalam proses penyusunan. Sedangkan joki dianggap berisiko besar, yakni mahasiswa tidak memahami isi skripsinya, bahkan terancam gagal sidang. Temuan ini membuka perbincangan tentang jalan pintas mahasiswa dalam menghadapi skripsi.

Pada dasarnya pemanfaatan teknologi AI dalam pendidikan ditujukan untuk efektivitas, namun tak lepas dari antisipasi potensi ketergantungan. Cynthia, alumni Ilmu Komunikasi USU, mengaku cukup terbantu dengan kehadiran AI. Ia sering memanfaatkannya untuk brainstorming, mencari referensi, dan menyusun kerangka. Namun, menurutnya, mahasiswa tidak bisa sepenuhnya mengandalkan AI.

“AI bisa bantu banyak hal, tapi tetap harus dipahami dulu. Kalau mentah-mentah dipakai, hasilnya terasa robotik. Malah bisa terdeteksi plagiasi,” kata Cynthia.

Taira, mahasiswa aktif Administrasi Publik USU stambuk 2022, juga memiliki pandangan serupa. Baginya, AI lebih efisien dibandingkan joki. Ia bisa menggunakan AI untuk membantu format penulisan, mencari literatur, hingga menata alur penelitian. Meski begitu, ia tetap menaruh kekhawatiran.

“Kalau kebablasan, mahasiswa jadi malas berpikir kritis. Padahal skripsi kan harus menunjukkan kemampuan analisis kita,” ujar Taira.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Sejak 2023, kampus-kampus top dunia mulai merumuskan aturan tentang penggunaan AI di lingkup akademik. Harvard, Yale, dan Oxford, misalnya, sudah menerapkan kebijakan agar mahasiswa tidak menggunakan ChatGPT secara sembarangan dalam penulisan esai. Sebagian universitas lain tidak melarang total, melainkan memberikan panduan etis. AI boleh dipakai dalam proses akademik, tetapi penggunaannya harus transparan dan tidak menggantikan proses belajar mahasiswa.

Di Indonesia, regulasi serupa masih minim. Beberapa perguruan tinggi baru sebatas mengingatkan agar mahasiswa tidak berlebihan menggunakan AI. Belum ada standar nasional yang jelas tentang batasan pemakaiannya.

Dr. Drs. Fikarwin M.Ant., dosen antropologi FISIP USU, menyebut AI sebagai pisau bermata dua. “AI itu ibarat pisau yang tajam. Kalau kamu gunakan untuk menjahati orang, pisau itu tidak bagus. Tapi kalau dipakai untuk merajang bawang, mengiris daging, itu sangat baik. Begitu juga AI, kalau dipakai untuk manipulasi jelas tidak baik,” ujar Fikarwin.

Menurut Fikarwin, teknologi ini membawa kemudahan sekaligus ancaman. Jika mahasiswa sepenuhnya bergantung, kemampuan menulis dan daya kritis justru akan menurun.

Senada dengan itu, Drs. Muba Simanihuruk, M.Si., dosen sosiologi FISIP USU, menilai AI adalah hal yang tak bisa dihindarkan. “AI itu tidak terhindarkan. Cuma harus ada disclaimer di akhir, menyatakan bahwa sebagian tulisan karyanya dibantu oleh AI, bukan digantikan oleh AI,” jelas Muba. Bagi Muba, hal ini penting agar mahasiswa tetap dilatih menulis, bukan menyerahkan seluruh pekerjaan ke AI.

*Joki, Bisnis Gelap yang Tetap Berkembang*

Meski survei menunjukkan mahasiswa lebih memilih AI, bukan berarti bisnis joki hilang begitu saja. MR, seorang penyedia jasa joki skripsi di Medan, mengaku masih banyak mahasiswa yang datang kepadanya. Alasan mereka beragam: sibuk bekerja, malas menulis, mengalami kesulitan saat bimbingan kepada dosen, hingga tertekan karena tidak kunjung lulus.

“Tarifnya bervariasi, bisa sampai jutaan rupiah. Tergantung tingkat kesulitan skripsi dan berapa cepat mau selesai,” ujar MR.

Namun, ia tidak menampik ada risiko besar. Skripsi hasil joki bisa ditolak dosen pembimbing, bahkan mahasiswa bisa gagal sidang. “Kalau ketahuan, ya hancur semua. Tapi banyak juga yang tetap lulus,” tambahnya.

Bagi Muba, fenomena joki adalah tanda ada masalah struktural di dunia pendidikan. Mahasiswa mencari jalan pintas bukan semata karena malas, tapi juga karena sistem pendidikan yang belum memberi ketegasan.

“Itu sebenarnya kejahatan, kejahatan ilmiah. Mental jalan pintas yang dipilih mahasiswa itu salah, karena dia bukan hanya mencari gelar, tapi seharusnya mencari ilmu,” tegas Muba.

Fikarwin melihat fenomena perjokian justru semakin parah dari tahun ke tahun.

“Lebih parah sekarang ini. Jumlahnya itu lebih banyak, bahkan lebih permisif. Lebih terbuka, lebih diterima kayaknya oleh semua pihak. Maka perjokian itu muncul di mana-mana, di segala profesi,” jelasnya.

Ia menyebut joki kini dianggap hal biasa, bahkan normal. “Semua orang tahu dan menerima itu sebagai keadaan yang biasa-biasa saja, normal. Seakan-akan dianggap saling tolong-menolong. Orang tidak lagi menghubungkannya dengan soal etika dan integritas.”

Pemberitaan Tirto menunjukkan joki skripsi masih marak ditawarkan secara daring, termasuk melalui marketplace besar. Tarifnya bervariasi, mulai dari Rp1 juta hingga Rp10 juta. Beberapa bahkan menjanjikan garansi lulus.

*Jalan yang Dipilih Mahasiswa*

Baik Cynthia maupun Taira sepakat, AI bisa membantu proses skripsi. Namun, keduanya menekankan bahwa mahasiswa tetap harus menguasai isi tulisannya. Jika tidak, hasil akhirnya sama saja mengkhianati proses belajar selama kuliah.

“AI jangan sampai bikin kita jadi malas. Kalau semua diserahkan ke AI, apa bedanya dengan joki skripsi?” kata Taira.

Bagi Fikarwin, menyikapi masifnya penggunaan AI di kalangan pendidikan memerlukan sistem evaluasi. Ia menekankan bahwa selama ujian dan penilaian tugas hanya berupa tulisan, peluang manipulasi akan selalu ada.

“Makanya koreksi saya terhadap sistem pendidikan kita, ujian kertas sebaiknya diganti. Lebih baik ujiannya lisan, biar mahasiswa betul-betul paham, bukan hanya mengandalkan teknologi,” katanya.

Sementara Muba menyoroti lemahnya perangkat integritas di kampus. “USU ini tertinggal. Mestinya setiap dosen dikasih perangkat cek plagiarisme, Turnitin itu. Pada beberapa kampus sudah dilakukan, tapi di USU belum. Mestinya di S1 pun sudah diterapkan,” tegasnya.

Bagi mahasiswa yang mengerjakan skripsi dengan joki, bagi Muba mereka mencapai tujuannya dengan cara yang salah dan tidak akan bertahan lama. “Orang-orang itu tidak kompetitif di pasar kerja yang meritokratik. Alam akan menghukumnya sendiri,” katanya.

Beberapa perguruan tinggi di Indonesia mulai menyiapkan aturan internal tentang penggunaan AI. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pun mulai mendorong literasi digital agar mahasiswa paham batasan etisnya. Namun, hingga kini, standar nasional belum tersedia.

Fenomena AI dan joki skripsi menggambarkan dilema akademik hari ini. Evaluasi, ketegasan dan penerapan standar operasional prosedur kian penting untuk menyelamatkan integritas pendidikan perguruan tinggi. 

“Mental jalan pintas yang dipilih mahasiswa itu salah, karena dia bukan hanya mencari gelar, tapi seharusnya mencari ilmu,” tegas Muba.

Penulis : Dormaulina Sitanggang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tren Work From Café: Lebih dari Sekadar Nongkrong

8 Desember 2025 - 18:13 WIB

Massa Desak Kapolda Sumut Copot Kapolres Labuhan Batu akibat Maraknya Peredaran Sabu

8 Desember 2025 - 16:54 WIB

Warga Brohol Desak PT EMHA Buka Lahan TPU, Bupati Batubara Janji Turun Tangan

8 Desember 2025 - 13:43 WIB

Menteri PKP–PWI Fasilitasi 5.000 Rumah Wartawan

7 Desember 2025 - 11:02 WIB

Wakil Ketua PWI Batubara Alami Intimidasi saat Meliput Antrean BBM di SPBU

5 Desember 2025 - 14:51 WIB

Trending di News