Menu

Mode Gelap
Kadis Kominfo Batu Bara Bahas Penguatan Kemitraan Media dengan Empat Organisasi Pers Pencarian Facebook Pro Melonjak, Pengguna Beralih Karena Fitur Tambahan yang Tidak Ada di Versi Resmi Facebook Pro Makin Populer di Indonesia, Diklaim Lebih Cepat dan Bebas Iklan Mantan Karyawan PT Cipta Artha Nadya Tuntut Keadilan atas Kompensasi yang Tak Dibayarkan Jumpa di Medan, Gerakan Kecil yang Mengubah Cara Kota Ini Saling Menjaga Tren Work From Café: Lebih dari Sekadar Nongkrong

News

Jumpa di Medan, Gerakan Kecil yang Mengubah Cara Kota Ini Saling Menjaga

badge-check


					Jumpa di Medan, Gerakan Kecil yang Mengubah Cara Kota Ini Saling Menjaga Perbesar

Desir.id — Medan | Setiap Senin jelang senja, halaman Taman Budaya Medan berubah menjadi ruang yang hangat. Bukan karena sebuah acara besar, melainkan karena barisan orang yang menunggu seporsi makan murah meriah. Bau nasi hangat dan lauk sederhana mengalir bersama percakapan kecil di antara mereka. Di kota yang bergerak cepat seperti Medan, momen ini menghadirkan jeda: ruang aman tempat orang saling menyapa dan saling menopang.

Di balik kegiatan yang tampak sederhana itu, berdiri komunitas Jumpa di Medan sekelompok anak muda yang memperlakukan aksi berbagi bukan sebagai amal semata, melainkan sebagai proses membangun martabat. Mereka menyebut hidangan itu dengan nama yang unik, nasi seribu.

“Nominal itu bukan sekadar harga,” jelas Olivia, sang pendiri. “Kami ingin penerima tetap punya rasa menghargai. Ada usaha, ada pertukaran, ada nilai diri.”

Filosofi mereka tegak pada satu prinsip, bantuan tidak boleh memutus rasa kepemilikan. Justru sebaliknya, harus menyalakan tanggung jawab bersama.

Gerakan ini berakar pada masa pandemi, ketika banyak keluarga kehilangan pendapatan dan harus memilih antara makan hari ini atau menunggu esok. Beberapa anak muda yang gelisah melihat kondisi itu kemudian mengumpulkan uang dari kantong pribadi membeli beras, minyak, lauk seadanya, hingga kotak makan. Kegiatan awalnya bahkan lahir dari komunitas kecil beragama Kristen. Namun kebutuhan di lapangan membuat pergerakan ini meluas dengan cepat. Latar belakang relawan melebur, agama, suku, hingga profesi. Nama Jumpa dipilih untuk menggambarkan maksud sederhana yaitu mempertemukan mereka yang ingin memberi dengan mereka yang membutuhkan uluran tangan.

Setiap pekan, mereka kembali membagikan makanan tanpa perlu dokumentasi yang berlebihan, tanpa pengeras suara, tanpa seremoni. Kehadiran mereka konsisten, namun tetap membumi. Justru sikap inilah yang pelan-pelan memperkuat kepercayaan warga. Tak berhenti pada makanan, mereka juga membuka lapak baju monza dengan harga mulai seribu rupiah. Batas pembelian tiga potong per orang ditetapkan agar distribusi lebih adil. Lagi-lagi, prinsip “ada usaha untuk mendapat” menjadi nafas semua program mereka.

Di tengah perjalanan, relawan melihat bahwa persoalan kota ini tidak berhenti pada kebutuhan perut dan sandang. Ada anak-anak dari keluarga marginal yang tertinggal di bidang pendidikan. Dari sanalah bimbingan belajar gratis dimulai. Kini titik belajarnya telah mencapai sepuluh lokasi, dari Simpang Cemara hingga Wijaya Kusuma. Kegiatannya sederhana, papan tulis kecil, dan semangat anak-anak yang haus belajar. Namun dari tempat-tempat itulah lahir keyakinan bahwa pendidikan yang merata tidak harus menunggu kelas yang megah.

Pergerakan tanpa sponsor berarti bergantung pada solidaritas. “Ada kalanya kas kami sangat tipis,” ucap Olivia. “Tapi kalau harus memilih, kami tetap ingin orang lain bisa makan.” 

Selain soal dana, perbedaan latar belakang anggota membuat koordinasi tidak selalu mulus. Waktu, energi, dan komitmen menjadi modal utama. Namun relawan percaya bahwa upaya kecil yang dilakukan rutin lebih berharga daripada program besar yang datang sesekali.

Fokus Jumpa di Medan bukan menghitung berapa yang telah dibantu, melainkan memastikan bahwa kebiasaan saling menolong tidak padam. Dari nasi seribu hingga bimbel gratis, seluruh program mereka sengaja dirancang untuk menumbuhkan rasa peduli, rasa turut memiliki, dan solidaritas.

Nilai itu dirasakan langsung oleh warga seperti Martha Sihombing, seorang lansia yang rutin datang tiap Senin. “Makanannya sederhana, tapi berarti. Mana ada harga seribuan lagi sekarang? Kami bersyukur masih ada anak-anak muda yang peduli,” tuturnya sambil tersenyum.

Dalam lima tahun, Jumpa di Medan menunjukkan bahwa perubahan sosial sering dimulai dari langkah kecil yang dilakukan terus-menerus. Olivia berharap semakin banyak anak muda yang melihat bahwa kepedulian bukanlah beban, melainkan gaya hidup yang bisa dilakukan siapa saja.

Komunitas ini juga membuka ruang kolaborasi, termasuk dengan pemerintah dan lembaga lain, agar aksi berbagi bisa berlangsung lebih sistematis dan menyentuh lebih banyak titik kota. Mereka yakin perubahan tidak harus dimulai dari hal besar cukup dari keputusan untuk tidak menutup mata ketika melihat orang lain kesulitan.

Dan setiap Senin sore di Taman Budaya, saat antrean mulai terbentuk, kota ini seolah sepakat bahwa kebaikan tidak butuh panggung mewah untuk bersinar. Ia hidup lewat tindakan kecil yang ditanamkan oleh anak muda yang percaya bahwa solidaritas masih mungkin dirawat.

Oleh: Zahra Zaina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kadis Kominfo Batu Bara Bahas Penguatan Kemitraan Media dengan Empat Organisasi Pers

10 Desember 2025 - 21:22 WIB

Pencarian Facebook Pro Melonjak, Pengguna Beralih Karena Fitur Tambahan yang Tidak Ada di Versi Resmi

10 Desember 2025 - 16:44 WIB

Facebook Pro Makin Populer di Indonesia, Diklaim Lebih Cepat dan Bebas Iklan

10 Desember 2025 - 16:36 WIB

Mantan Karyawan PT Cipta Artha Nadya Tuntut Keadilan atas Kompensasi yang Tak Dibayarkan

9 Desember 2025 - 14:51 WIB

Tren Work From Café: Lebih dari Sekadar Nongkrong

8 Desember 2025 - 18:13 WIB

Trending di News