Menu

Mode Gelap
Bupati Baharuddin Siagian Sambut Bahagia Jurnalis Batubara FC Usai Tembus Semifinal Piala Jurnalis Gubsu Tren Clean Living Meningkat: Gaya Hidup Sehat Jadi Pilihan Milenial Pasca Pandemi Pelayanan Pajak Daerah Kini Hadir di Setiap Kecamatan. Catat Tanggalnya! Rapat Paripurna DPRD Deli Serdang Bupati: Kesampingkan Ego Pribadi, Golongan & Sektoral, Utamakan Kepentingan Masyarakat Bupati Apresiasi Semangat Jurnalis Batubara FC, Meski Terhenti di Perempat Final Piala Gubsu Dilanda Cedera, Perjuangan Batubara Jurnalis FC Terhenti di Perempat Final Piala Gubsu 2025

Entertainment

Review Film, Bila Esok Ibu Tiada

badge-check


					Review Film, Bila Esok Ibu Tiada Perbesar

Desir.id – Medan | Sebuah film keluarga adaptasi novel dengan judul sama karya Nagiga Nur Ayati yang tentu dimaksudkan sebagai film yang dapat menguras air mata dengan hasil yang sayangnya cukup membingungkan. Film bercerita tentang satu keluarga yang beranggotakan Rahmi (Christine Hakim) sang ibu, Ranika (Adinia Wirasti) si sulung yang sukses membangun perusahaan, Rangga (Fedi Nuril) si musisi idealis yang belum memperoleh kontrak rekaman, Rania (Amanda Manopo) si aktris televisi, dan Hening (Yasmin Napper) si bungsu dengan jiwa seni tinggi. Rahmi dan anak-anaknya tengah renggang semenjak kematian Haryo (Slamet Rahardjo) sang ayah, ditambah anak-anak Rahmi semakin sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan sering adu argumen terkait pembagian waktu tatkala mereka harus mengurus sang ibu. Seperti layaknya film keluarga pada umumnya, film ini tak hanya mengangkat satu tema sebagai konflik utama dan menyuguhkan konflik plural pada penontonnya. Pembahasan-pembahasan mengenai proses berduka yang tak kunjung selesai, keretakan keluarga, dan dilema sejumlah anak dalam membagi waktu untuk orang tua seharusnya menjadi sesuatu yang spesial jika dipadukan dengan baik entah itu di paruh ketiga film ataupun seiring film berjalan.

Namun, penyutradaraan Rudi Soedjarwo agaknya seringkali kehilangan arah dan sulit dalam menentukan identitas bagi filmnya secara keseluruhan. Sedari awal saya menyadari bahwa banyak sekali transisi konflik dan antar-adegan yang terasa begitu kasar dan tidak saling berkesinambungan. Pun begitu juga terdapat momen-momen dimana beberapa karakter terlihat akan memiliki peran lebih tapi berujung tidak dimaksimalkan dan terkesan disa-siakan. Hal-hal tersebut membuat adegan yang seharusnya menjadi adegan pamungkas di film terasa kurang efektif sehingga film seringkali terasa seperti ide yang matang dan tidak dieksekusi dengan baik.

Terlepas dari beberapa kesalahannya, bagi saya film ini tidak sepenuhnya gagal dalam upayanya untuk menguras air mata penonton. Dibalik kekisruhan konflik yang ingin diangkat, saya sangat mengapresiasi beberapa adegan yang sebenarnya sangat baik dari segi visual dan performance para castnya. Adegan-adegan yang berfokus pada perasaan duka yang dirasakan Rahmi terkait kematian suaminya adalah penampilan yang begitu haru bagi saya sebagai penonton. Pun begitu pula dengan acting performance Christine Hakim sebagai Rahmi yang sangat mengalir dibarengi dengan sejumlah Close-Up Shot yang efektif semakin mendukung aspek emosional yang ingin disampaikan ke penonton. Tapi tetap saja, walaupun memiliki aspek-aspek yang berpotensi baik bagi keseluruhan film, Rudi Soedjarwo tidak memiliki perekat yang cukup baik untuk menggabungkan semua aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang solid.

Penulis : Arya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Review How to Train Your Dragon (2025)

16 Juni 2025 - 11:36 WIB

Review Lilo & Stitch (2025)

14 Juni 2025 - 19:58 WIB

Review Final Destination Bloodlines (2025)

11 Mei 2025 - 21:10 WIB

Review Thunderbolts* (2025)

10 Mei 2025 - 20:51 WIB

Review Daredevil: Born Again (2025)

1 Mei 2025 - 14:46 WIB

Trending di Entertainment