Menu

Mode Gelap
Sarjana Besi dari Padang. Jejak Dirut Inalum Melati Sarnita Menempa Hilirisasi Nasional Kesehatan Mental Jadi Tren Gaya Hidup Sehat di Indonesia, Ini Alasannya Fitur Live Shopping Kembali di TikTok Shop, UMKM Raup Omzet Jutaan per Hari! INALUM Sabet Dua Penghargaan di TOP CSR Awards 2025, Tegaskan Komitmen Keberlanjutan Bisnis Gubernur Sumut Bobby Nasution Kunjungi Tanggul Jebol Dalu-Dalu, Janjikan Solusi untuk Warga Batubara Cegah Generasi Muda dari Narkoba, BNNK dan IWO Gelar Sosialisasi di SMPN 1 Lima Puluh

Entertainment

Review Final Destination Bloodlines (2025)

badge-check


					Review Final Destination Bloodlines (2025) Perbesar

Desir.id – Medan | Setelah 14 tahun tidak merilis installment baru, salah satu franchise slasher non-konvensional paling ikonik yang telah menimbulkan banyak trauma di kalangan penggemarnya akhirnya kembali lewat Final Destination Bloodlines. Film ini ditangani oleh orang-orang di balik layar yang tampaknya benar-benar memahami apa yang membuat franchise ini begitu unik, serta bagaimana menyajikannya tanpa terasa repetitif. Hasilnya adalah sebuah film comeback yang luar biasa memuaskan, segar dengan berbagai pembaruan formula, namun tetap mempertahankan elemen-elemen krusial yang menjadi fondasi keseluruhan franchise-nya.

Film dibuka dengan sekuens flashback yang berlatar tahun 1968, di sebuah acara pembukaan restoran yang terletak di puncak menara menjulang. Iris Campbell (Brec Bassinger) menghadiri acara tersebut atas ajakan kekasihnya, Paul (Max Lloyd-Jones). Di tengah hingar bingar suasana, Paul berencana melamar Iris. Namun secara tiba-tiba, Iris mulai mendapat berbagai firasat aneh dan penglihatan akan sebuah tragedi yang akan merenggut nyawanya serta semua orang yang hadir di acara tersebut.

Umumnya, intro seperti ini berfungsi bagi film-film Final Destination untuk menetapkan protagonis utama dan para karakter pendukung sebagai orang-orang yang berhasil selamat dari kejaran maut. Namun film kali ini berbeda. Setelah tragedi terjadi dan rangkaian kematian berlangsung, alih-alih mengembalikan waktu ke momen sebelum kejadian seperti biasanya, penonton justru dikejutkan oleh lompatan cerita ke masa modern yang memperkenalkan tokoh utama yang sebenarnya, Stefani Reyes (Kaitlyn Santa Juana), cucu dari Iris.

Intro yang sepenuhnya unik ini menegaskan bahwa Final Destination Bloodlines mengambil pendekatan berbeda dalam menetapkan para karakternya serta konflik yang menyatukan mereka. Hal ini menciptakan pembeda yang jelas dibandingkan film-film Final Destination sebelumnya, baik dari segi tema maupun latar belakang tokohnya. Kali ini, penonton disuguhkan dengan jajaran karakter yang berasal dari satu keluarga, dengan konflik yang bersifat generasional. Kombinasi ini memberikan warna baru yang signifikan bagi keseluruhan franchise.

Keputusan untuk menjadikan para karakternya bagian dari satu keluarga juga merupakan salah satu langkah terbaik dan paling menyegarkan dalam sejarah Final Destination. Jika sebelumnya dinamika karakter hanya melibatkan rasa percaya atau curiga dalam lingkup pertemanan atau di antara sekelompok orang asing, kini hubungan dan kedekatan keluarga menjadi pusat yang diuji di tengah kejaran maut. Hal ini membuka ruang bagi momen-momen antar karakter yang jauh lebih dalam secara emosional, karena masing-masing memiliki motivasi kuat untuk saling melindungi sebagai anggota keluarga.

Selain momen-momen emosional, beberapa elemen humor juga terasa lebih natural dibandingkan humor receh stereotipikal yang sering muncul di film-film sebelumnya. Salah satu yang paling memorable adalah interaksi komedik antara duo Erik Campbell (Richard Harmon) dan Bobby Campbell (Owen Patrick Joyner). Meskipun Erik adalah karakter yang tergolong stereotipikal dengan sifat menyebalkan, kepeduliannya terhadap Bobby yang cenderung lemah, sambil tetap menunjukkan sikap iseng khas kakak pada umumnya, memberi kedalaman tersendiri yang berhasil mematahkan stereotipe tersebut.

Berbicara soal karakter tentu tidak lepas dari tokoh utamanya. Stefani Reyes, seperti telah penulis sebutkan sebelumnya, adalah protagonis yang meskipun tidak terlalu kompleks, tetap mampu menjalankan peran sentralnya dengan baik. Hubungannya dengan sang nenek, Iris, setelah mewarisi penglihatan dan pengetahuan tentang maut yang mengejar keluarga mereka, menempatkannya dalam posisi yang cukup kuat sebagai tokoh utama. Relasinya dengan adiknya, Charlie Reyes (Teo Briones), dan ibunya, Darlene Campbell (Rya Kihlstedt), juga turut memperkuat dimensi emosionalnya dalam cerita.

Selain jajaran karakternya yang menarik, Final Destination Bloodlines juga menghadirkan konektivitas yang layak dengan keseluruhan franchise lewat berbagai referensi, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang memberi dampak besar. Bahkan film ini memberikan sorotan khusus bagi karakter William Bludworth (Tony Todd), yang sebelumnya muncul secara misterius di tiga film terdahulu, dengan menyuguhkan latar belakang cerita yang lebih dalam. Hal ini menjadi bentuk penghormatan yang pantas bagi sang aktor, yang telah meninggal pada 6 November 2024 lalu.

Satu aspek yang tidak bisa dilewatkan dalam setiap installment Final Destination adalah brutalitas dan gore dalam adegan-adegan kematiannya. Film ini menghadirkan beberapa sekuens gore yang bukan hanya paling brutal, tetapi juga paling rinci dan cermat dalam membangun ketegangan. Setiap momen menuju kematian karakter dirancang secara perlahan, memanfaatkan rasa cemas penonton untuk menebak-nebak bagaimana mereka akan tewas. Ketegangan ini diperkuat dengan banyaknya red herring dalam setiap sekuens, membuat penonton terus terkecoh.

Terakhir, salah satu aspek paling berkesan dari Final Destination Bloodlines adalah visualnya. Dibandingkan film-film sebelumnya, tampilan film ini terasa paling sinematik dan imersif. Penggunaan CGI yang lebih matang menghadirkan beberapa sekuens seru, termasuk runtuhnya menara di bagian pembuka film. Meskipun menggunakan CGI, efek praktikal tetap mendominasi dalam berbagai adegan kematian, menciptakan kesan nyata yang menyeramkan.

RATE: ⭐⭐⭐⭐

Penulis: Arya Yudhistira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Review Thunderbolts* (2025)

10 Mei 2025 - 20:51 WIB

Review Daredevil: Born Again (2025)

1 Mei 2025 - 14:46 WIB

Review Pengepungan di Bukit Duri (2025)

19 April 2025 - 12:47 WIB

Review Jumbo (2025)

8 April 2025 - 00:15 WIB

Review Qodrat 2 (2025)

7 April 2025 - 16:53 WIB

Trending di Entertainment