Menu

Mode Gelap
Sarjana Besi dari Padang. Jejak Dirut Inalum Melati Sarnita Menempa Hilirisasi Nasional Kesehatan Mental Jadi Tren Gaya Hidup Sehat di Indonesia, Ini Alasannya Fitur Live Shopping Kembali di TikTok Shop, UMKM Raup Omzet Jutaan per Hari! INALUM Sabet Dua Penghargaan di TOP CSR Awards 2025, Tegaskan Komitmen Keberlanjutan Bisnis Gubernur Sumut Bobby Nasution Kunjungi Tanggul Jebol Dalu-Dalu, Janjikan Solusi untuk Warga Batubara Cegah Generasi Muda dari Narkoba, BNNK dan IWO Gelar Sosialisasi di SMPN 1 Lima Puluh

Entertainment

Review Jumbo (2025)

badge-check


					Review Jumbo (2025) Perbesar

Desir.id – Medan | Perfilman Indonesia masih sangat minim representasi karya animasi yang proper, umum secara tema namun spesial dalam eksekusinya. Memang sudah ada beberapa upaya ke arah tersebut, namun sering kali karya-karya yang muncul masih terjebak pada tema religi yang repetitif atau stereotipe yang cenderung merendahkan, yang terasa kurang ideal jika ditujukan untuk penonton anak-anak. Hambatan-hambatan ini tentu perlu dipatahkan lewat sebuah karya animasi yang tulus, hangat, dan benar-benar spesial. Karya tersebut adalah Jumbo, hasil arahan sutradara Ryan Adriandhy dan bentuk kolaborasi banyak pihak yang memiliki satu tujuan sama.

Salah satu keunggulan utama Jumbo tentu terletak pada kualitas animasinya yang terasa begitu hidup, kaya akan variasi, dan sangat colorful. Alih-alih langsung membuka film dengan sekuens 3D, Jumbo justru memilih untuk memulai dengan animasi bergaya 2D yang menyerupai ilustrasi buku cerita anak. Ini merupakan keputusan yang tepat, karena dengan menyajikan gaya visual yang berbeda di awal, film ini langsung memberi kesan bahwa apa yang akan disuguhkan adalah sesuatu yang spesial, hasil dari kolaborasi banyak pihak yang penuh dedikasi. Selain itu, detail yang ditampilkan di setiap adegan seperti ekspresi wajah, gestur tubuh, pencahayaan, hingga efek visual lainnya berhasil menjadikan momen-momen dialog terasa magis dan lebih hidup.

Secara premis, Jumbo bercerita tentang perjalanan seorang anak laki-laki berusia 10 tahun bernama Don (Prince Poetiray). Don memiliki kebiasaan mendengarkan dongeng yang dibacakan oleh Ayah (Ariel Noah) dan Ibunya (Bunga Citra Lestari) setiap malam sebelum tidur, kebiasaan yang perlahan menumbuhkan daya imajinasinya. Namun, Don kerap menjadi sasaran perundungan karena tubuhnya yang besar, hingga dijuluki “Jumbo” oleh teman-temannya. Meski demikian, Don tetap ceria dan dikelilingi oleh dua sahabat setia, Nurman (Yusuf Ozkan) dan Mae (Graciella Abigail), yang selalu ada untuknya. Suatu hari, mereka bertiga bertemu dengan Meri (Quinn Salman), seorang anak perempuan dari dunia lain yang meminta bantuan untuk mencari kedua orang tuanya. Di saat yang bersamaan, mereka juga harus mempersiapkan penampilan terbaik mereka untuk sebuah pentas bakat.

Premis yang terdengar sederhana dan terasa sempurna untuk sebuah film animasi anak-anak ini diperkuat dengan naskah arahan Ryan Adriandhy dan Widya Arifianti yang dipenuhi nuansa kebahagiaan, keceriaan, dan pelajaran hidup. Hasilnya adalah sebuah cerita yang ringan untuk dipahami sejak awal dan menyenangkan untuk diikuti. Tak hanya dari sisi cerita, Jumbo juga didukung oleh jajaran karakter yang menarik, masing-masing dengan karakteristik dan latar belakangnya sendiri. Keberadaan karakter-karakter yang kuat ini tentu semakin memperkuat penyampaian cerita secara keseluruhan.

Berbicara tentang karakter, Don adalah contoh ideal bagaimana seharusnya seorang protagonis ditulis dalam film animasi yang ditujukan untuk anak-anak. Di awal film, penonton diperkenalkan dengan sosok Don yang ceria, gemar bercerita, dan senang bermain seperti anak-anak pada umumnya. Empati terhadapnya mulai terbentuk ketika terungkap bahwa Don kerap dirundung oleh teman-temannya. Meski demikian, Don bukanlah karakter yang selalu benar. Seiring cerita berjalan, karakternya berkembang melalui berbagai momen di mana ia melakukan kesalahan dan bersikap kurang baik terhadap teman-temannya. Momen-momen tersebut menjadi titik balik yang penting bagi Don untuk belajar mendengarkan, memahami, dan lebih menghargai orang-orang di sekitarnya. Penulisan karakter seperti ini sangat penting untuk terus diterapkan dalam film-film animasi, karena bagaimana seorang anak bisa belajar berbuat benar jika mereka tidak mengetahui konsekuensi dari kesalahan yang bisa mereka lakukan? Dengan memahami hal tersebut, mereka akan lebih mampu menghargai arti dari setiap ucapan dan perbuatan. Nilai-nilai seperti inilah yang sangat penting dalam proses tumbuh kembang setiap anak.

Jika berbicara lebih spesifik soal karakterisasi, latar belakang para karakter pendukung dalam Jumbo secara mengejutkan ditulis dengan cukup dalam dan tidak terasa naif. Kedua sahabat Don, Nurman dan Mae, ternyata berasal dari latar belakang yang jauh dari kata bahagia. Meri, teman baru mereka, juga menghadapi masalah besar yang bahkan mengancam nyawanya. Sementara itu, Atta (M. Adhiyat), anak yang kerap merundung Don, ternyata hanya melampiaskan beban hidupnya sebagai anak dari keluarga kurang mampu yang tinggal berdua dengan sang kakak, Acil (Angga Yunanda). Latar belakang yang realistis seperti ini tidak hanya menambah kedalaman pada masing-masing karakter, tetapi juga memperkaya alur cerita lewat interaksi antar tokoh yang menyentuh hati.

Kembali ke aspek plot, Jumbo memiliki satu plot point yang cukup mengejutkan. Di satu momen, cerita mengalami perubahan arah ketika elemen mistisisme lokal dengan sentuhan sci-fi tiba-tiba dimasukkan ke dalam alur yang sejak awal tampil sebagai kisah anak-anak dengan nuansa fairy tale yang menyenangkan. Dalam banyak kasus, perubahan tema seperti ini berisiko mengganggu ritme dan menciptakan kontras suasana yang tidak selalu mulus. Namun hal tersebut tidak terjadi di Jumbo. Justru, perubahan ini memperkaya konflik utama dan menghasilkan babak ketiga yang sangat seru sekaligus menghibur. Elemen mistisisme lokal dengan sentuhan sci-fi tersebut juga menjadi bentuk reimajinasi menarik terhadap budaya rakyat Indonesia yang selama ini sering diasosiasikan dengan hal-hal menyeramkan. Di tangan tim kreatif Jumbo, elemen itu disajikan sebagai sesuatu yang segar, imajinatif, dan sangat menarik untuk terus dieksplorasi.

Secara keseluruhan, plot yang ternyata cukup kompleks tersebut tetap dikemas dengan cara yang menghangatkan hati dan konsisten mempertahankan nuansa ceria. Keceriaan tersebut hadir lewat gaya animasinya yang penuh warna, suasana hangat yang tercipta di sepanjang film, dinamika antar karakter yang saling memahami, hingga bagaimana latar belakang masing-masing tokoh saling terhubung secara organik. Semua elemen ini kerap berhasil menghibur inner-child penulis, sekaligus memancing tawa dan rasa haru di berbagai momen.

Tingkat keterikatan emosional penulis terhadap keceriaan yang dihadirkan film ini rasanya tidak akan muncul sekuat itu jika bukan karena scoring dari Ofel Obaja Setiawan yang sejak awal sudah menjadi sahabat setia bagi naskah. Setiap sensibilitas yang muncul dalam cerita selalu diiringi oleh musik yang tepat dan variatif, menyatu dengan emosi yang ingin disampaikan. Selain itu, Jumbo juga menyelipkan beberapa lagu vokal yang mengisi sekuens musikalnya. Salah satunya adalah lagu “Kumpul Bocah” yang dinyanyikan ulang oleh Maliq & D’Essentials, berhasil menghidupkan kembali nuansa hangat versi aslinya yang dibawakan Vina Panduwinata, namun dengan sentuhan yang segar dan kekinian.

Sebagai penutup, Jumbo menghadirkan ending yang mengingatkan pada gaya film-film Pixar. Sebuah akhir yang emosional dan berhasil merangkum keseluruhan cerita dengan sangat baik. Ending ini tidak hanya memberi penutup yang menyentuh bagi perjalanan si protagonis, tetapi juga memberikan resolusi bagi para karakter pendukungnya. Secara keseluruhan, kualitas yang ditampilkan Jumbo menjadi bukti nyata bahwa industri perfilman Indonesia mampu memproduksi film animasi dengan standar yang tinggi. Mengingat Jumbo hanyalah satu dari beberapa proyek animasi milik Visinema, tentu menarik untuk menantikan perkembangan film Kancil sebagai proyek selanjutnya, meskipun tanggal rilisnya masih belum diumumkan.

RATE: ⭐⭐⭐⭐½

Penulis: Arya Yudhistira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Review Final Destination Bloodlines (2025)

11 Mei 2025 - 21:10 WIB

Review Thunderbolts* (2025)

10 Mei 2025 - 20:51 WIB

Review Daredevil: Born Again (2025)

1 Mei 2025 - 14:46 WIB

Review Pengepungan di Bukit Duri (2025)

19 April 2025 - 12:47 WIB

Review Qodrat 2 (2025)

7 April 2025 - 16:53 WIB

Trending di Entertainment