Desir.id – Medan | Setelah akhir-akhir ini berfokus menyutradarai film horor, Joko Anwar akhirnya kembali mengangkat isu yang relevan lewat Pengepungan di Bukit Duri atau The Siege at Thorn High dalam judul internasionalnya. Film ini merupakan wujud keresahan Joko Anwar, selaku sutradara sekaligus penulis naskah, terhadap kondisi sosial di sekitar kita yang kian rapuh dan rentan terhadap perpecahan. Akar dari keresahan ini tak lepas dari berbagai persoalan mendalam, seperti kekecewaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan yang gagal menjalankan fungsinya. Kegagalan tersebut memicu ketidakteraturan dalam tatanan sosial, yang perlahan memupuk amarah dan kebencian, hingga akhirnya meledak secara tidak terarah melalui peristiwa-peristiwa kerusuhan sebagai bentuk pelampiasan masyarakat atas rasa lelah yang terus menumpuk dalam keseharian mereka yang penuh ketidakadilan.
Ketika semua sudah terjadi, kita sebagai bagian dari masyarakat yang tengah mengalami trauma secara kolektif pun belum tentu bisa bersama-sama mengatasi dan mengobati luka lama yang sudah tertanam begitu dalam. Sering kali, peristiwa-peristiwa pilu tersebut hanya diingat secara simbolis, namun tidak dijadikan pelajaran untuk bersama-sama berubah demi mewujudkan masyarakat yang lebih ideal. Akibatnya, permasalahan serupa terus berulang dan membuat kita semua secara tidak terelakkan terjebak dalam sebuah lingkaran setan. Kita hanya bisa menunggu dan bersiap menghadapi ledakan berikutnya, sembari bertanya-tanya akan berada di sisi mana jika hal tersebut kembali terjadi.

Sebagai dystopian thriller, film ini mengimplementasikan isu-isu tersebut secara efektif dan terasa sangat dekat dengan realita melalui alur ceritanya. Joko Anwar jelas menjadikan tragedi ‘98 sebagai inspirasi kuat bagi keseluruhan narasi, serta memanfaatkan peristiwa tersebut untuk membuka kembali luka lama sebagai bentuk refleksi kita sebagai bagian dari masyarakat yang terlibat maupun terdampak. Hal ini sebenarnya sangat penting dilakukan dan kemungkinan besar dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat kita. Karena melalui film ini, dapat terbuka ruang bagi kita untuk mengingat kembali, membicarakan, dan bersama-sama menghindari agar kesalahan serupa tidak kembali terulang.
Berlatar pada tahun 2027, cerita berfokus pada Edwin (Morgan Oey), salah satu korban yang selamat dari kerusuhan beberapa tahun sebelumnya ketika ia masih remaja. Kini, ia bekerja sebagai guru pengganti dan menerima tugas di SMA Duri Jakarta, sebuah sekolah khusus untuk anak-anak bermasalah, sambil terus mencari keponakannya yang hilang. Dalam proses penyesuaiannya di lingkungan sekolah tersebut, Edwin menghadapi banyak siswa brutal yang tak segan melawan dan melontarkan ungkapan rasisme terhadapnya sebagai seseorang beretnis Tionghoa. Salah satu di antaranya adalah Jefri (Omara Esteghlal), seorang siswa pentolan yang kerap bersinggungan dengan Edwin. Ketika pencariannya hampir mencapai titik terang, kerusuhan kembali pecah di kota, memaksa Edwin dan para karakter pendukung lainnya untuk bertahan hidup dari Jefri dan kelompoknya yang bertekad menghabisi mereka.
Pengambilan latar tahun 2027 merupakan keputusan yang tepat. Karena alih-alih sekadar diingatkan pada peristiwa masa lalu, kita justru diajak melihat bagaimana peristiwa serupa dapat kembali terjadi dalam masyarakat yang lebih kontemporer dan relevan dengan kondisi saat ini. Berdasarkan pernyataan Joko Anwar, naskah film ini sebenarnya sudah rampung sejak tahun 2008, namun tidak pernah berlanjut ke proses produksi dengan harapan bahwa kondisi sosial di negeri ini akan membaik. Namun kenyataannya, 17 tahun kemudian, Indonesia masih dilanda permasalahan-permasalahan sosial yang sama. Hal tersebut menjadikan produksi film ini sebagai sebuah urgensi, agar kita tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama dan bisa menghindari terciptanya dunia dystopia 2027 seperti yang digambarkan dalam film.
Lebih spesifik berbicara tentang cerita, plot film ini disampaikan dengan pacing yang tidak terburu-buru, sehingga menghasilkan perkembangan cerita yang organik dan progresif seiring film berjalan. Karena alurnya yang bergerak perlahan, film ini mampu membangun world building yang imersif, terutama melalui babak pertama menuju babak kedua, guna menempatkan penonton tepat di tengah kondisi masyarakat yang sedang berada di ambang kehancuran. Isu rasial anti-Tionghoa yang menjadi salah satu tema utama pun ditampilkan dengan jelas, baik melalui berbagai set pieces yang dipenuhi simbol-simbol anti-Tionghoa maupun lewat ungkapan-ungkapan rasis yang dilontarkan oleh beberapa karakter. Kedua elemen ini membuat isu rasial yang diangkat terasa begitu kental dan sangat dekat dengan realita yang kita kenal.
Selain itu, adegan pembuka yang menggambarkan kerusuhan tahun 2009 dengan begitu spontan, brutal, dan tanpa ampun menjadi hook yang efektif untuk menetapkan keseluruhan tone film yang kelam dan penuh keputusasaan. Adegan ini sekaligus menempatkan Edwin di posisi protagonis yang terdampak secara psikologis, memendam trauma selama bertahun-tahun, hingga akhirnya harus kembali berhadapan dengan situasi serupa. Berbicara tentang karakter, Edwin mendapatkan treatment penulisan yang berhasil menampilkan kondisi mentalnya yang perlahan runtuh, terutama ketika ia tidak bisa berbuat banyak dan harus bersikap cerdas di tengah ancaman Jefri dan kelompoknya yang semakin brutal. Sebaliknya, meskipun tidak disertai latar belakang mendalam, kegilaan Jefri dan kelompoknya tetap terasa nyata melalui berbagai dialog subtil yang mayoritas mencerminkan pelampiasan atas kekecewaan mereka terhadap figur orang tua.
Penulisan karakter yang baik tentu tidak akan terasa maksimal jika tidak didukung oleh para aktor di baliknya. Performa akting Omara Esteghlal sebagai Jefri menjadi salah satu sorotan utama yang mungkin akan diingat untuk beberapa tahun ke depan. Ia berhasil menghidupkan karakter Jefri yang sebenarnya dangkal dalam hal latar belakang, namun tetap mampu menyampaikan seribu kekecewaan dan amarah melalui setiap tindakan brutalnya, bahkan seakan memberikan nuansa empatik melalui setiap ekspresinya. Bersamaan dengan itu, performa Morgan Oey yang sangat mampu menggambarkan dilema karakter Edwin, akan sejauh mana kegilaan harus dihadapi untuk bisa bertindak, membuat kedua karakter ini menciptakan proses tarik ulur yang intens dan konsisten di sepanjang film. Selain kedua karakter utama tersebut, dilema yang dialami setiap teman Jefri ketika kekerasan yang mereka lakukan sudah melampaui batas juga diekspresikan dengan sangat baik melalui performa masing-masing aktor.
Beralih ke aspek aksi dan kekerasan, Pengepungan di Bukit Duri adalah salah satu film di mana Joko Anwar tidak menahan diri untuk menampilkan berbagai aksi brutal, sadis, dan mengejutkan secara eksplisit. Kekerasan dalam film ini seakan menjadi karakter tersendiri, mengingat dampak besar dan prominen yang ditimbulkan pada setiap karakter yang terlibat. Beberapa sekuens yang menjadi sorotan utama antara lain satu sekuens yang melibatkan karakter yang diperankan oleh Kiki Narendra, sekuens kejar-kejaran Edwin dengan kelompok Jefri, dan tentu saja seluruh adegan yang melibatkan Jefri yang berlaku sadis. Terdapat pula beberapa sekuens baku hantam yang dibangun dengan koreografi yang sangat dinamis dan grounded, salah satu referensi yang terlintas adalah The Raid (2011) garapan Gareth Evans, yang hingga kini masih sering dibicarakan karena aspek aksinya yang begitu ground-breaking.
Sebagai penutup, Pengepungan di Bukit Duri memang merupakan suatu tontonan traumatis yang kelam dan brutal. Film ini diakhiri dengan kesan bahwa konflik telah terselesaikan dan akan memberikan kelegaan bagi sang protagonis, namun kenyataannya film ini tetap sarat akan persoalan moralitas yang kompleks. Penonton akan dihadapkan dengan kenyataan pahit yang pada akhirnya membuat mereka mempertanyakan perspektif yang mereka miliki di sepanjang film. Namun begitu, harapan tidak sepenuhnya hilang. Film ini tetap menyajikan kesan bahwa terlepas dari gelapnya sebuah situasi, akan selalu ada kebaikan di dalamnya, yang menjadi pondasi bagi suatu masyarakat untuk bisa bertahan dan melangkah ke tahap berikutnya. Tentu saja, semua itu harus diiringi dengan refleksi yang berarti agar realita yang destruktif dapat dijauhkan.
RATE: ⭐⭐⭐⭐½
Penulis: Arya Yudhistira